Sabtu, 10 November 2012

Hujan Bencana Antek Raburi ( Lanjutan.2 )

Malam yang indah, ditaburi bintang-bintang, di hiasi senyuman rembulan. Sungguh suatu pemandangan yang sangat indah, Di depan sana sebuah desa menanti.
Seharian berjalan menelusuri lembah-lembah, hutan-hutan, laut-laut, hingga aku terdampar di sebuah desa persinggahan. Desa yang ramai dipenuhi aneka ragam manusia. Desa yang sebelumnya tak pernah ku jejaki. Namun semua itu tidak membuat aku kikuk, aku turun dari kuda tungganganku, kemudian aku menambatkan tali kekangnya ke sebuah pagar yang memang tempat parkirnya para kuda.  Sebab aku melihat diatas pagar tersebut tertulis "PARKIR KUDA FREE"

Aku mulai menjelajahi setiap sisi desa ini, menelusuri taman-taman yang tertata rapi, kesannya desa ini begitu makmur. Langkahku terhenti, ketika sebuah rumah makan menghadang ku, mau tak mau harus dihadapi rintangan ini, pikirku. Lalu aku masuk, Semerbak aroma soto ayam dan sop kambing mencolek hidungku, tepat sekali dugaanku. "Haruskah ku hantam dua musuh ini sekaligus ?" bathinku.
"Silahkan duduk, Tuan. Mau pesan apa ?" kata pelayan rumah makan tersbut.
"Mie rebus dan gado-gado"jawabku

"Itu saja, apakah Tuan tidak mau mencoba menu spesial kami" kata si pelayan.
"Ohya, apa menu spesialnya? tanya ku
"Gado-gado dan mie rebus" kata si pelayan.
"Oh, maaf...saya tidak mau mengambil resiko, saya pesan mie rebus dan gado-gado saja" jawabku.

"Baiklah Tuan, pesanan Tuan akan segera datang" sembari berlalu.
"Pelayan ! " teriakku.
"Iya Tuan ?"pelayan menoleh ke arahku
"Soto dan Sop di bungkus, buat bekal perjalanan,,,,hehe"
"Baik Tuan" kata pelayan itu , lalu meninggalkan ku.

Ku usap perutku dengan belaian jemari halus, "Sabar...begitu musuh datang, langsung kita hantam dengan serangan ilmu lima jari setan, Hehe" senyuman kemenangan terlihat di wajahku.

Tak lama pelayan datang membawa hidangan yang ku pesan. Setelah ku ucapkan doa, lalu seperti kataku tadi ilmu lima jari setan pun mulai beraksi. Belum sampai sepeminunan teh, semua hidangan ludes habis terjual kedalam perut.
"Enak betul hidangan ini jika lapar" sembari mengusap bibir dengan ujung lengan baju. 

Ku rapikan segala sesuatunya, aku pun hendak segera beranjak pergi. Tentunya setelah semua hidangan itu ku bayar.
Tetapi suara gaduh di luar sana, membuat semua pengunjung rumah makan tersebut berhamburan keluar.
"Ada apa gerangan" bisikku
Sayup-sayup memang aku mendengar suara orang minta tolong, tapi siapa dan kenapa. Aku buru-buru membayar makanan ku cicipi tadi dan segera berlari keluar melihat apa yang terjadi.

Aku melihat kerumunan orang berkumpul, segera ku dekati.
Seorang tua dalam keadaan terluka, di papah oleh anak muda yang juga terluka namun tidak separah si orang tua.
"Tolong kami,, tolong kami" kata si anak muda
"Desa kami diserang gerombolan penjahat" sembari menunjuk ke arah selatan.


Melihat kejadian ini, jiwa pendekar ku pun keluar.  "Ini tak bisa dibiarkan, mesti harus ada seseorang yang turun tangan memberangus manusia keji yang melakukan penganiyayaan ini" mengepalkan tangan.
Tanpa menunggu lebih lama, aku mulai bergegas ke arah selatan sebagaimana petunjuk dua orang yang terluka tadi. 

Singkatnya aku sampai juga di gapura desa tersebut, sulit ku percaya manusia mana yang melakukan kekejaman ini, api membumbung tinggi di setiap rumah, mayat-mayat bergelimpangan, sesekali aku mendengar suara gemuruh dan petir bersahutan. Aku pun mengendap-ngendap dari rerumputan yang tinggi hingga mendekam di sebuah pohon. Aku terperanjat. 
"Raburi !" bisikku
Aku kenal manusia ini, kejahatannya setinggi gunung, sedalam lautan. Ingin rasanya ku berangus sekarang juga, pikirku. Tapi niat itu ku simpan dalam hati tatkala melihat di seberang sana, tidak berapa jauh dari berdirinya raburi, di balik pekatnya malam, aku lebih terperanjat melihat satu sosok, yang dari pakaiannya aku ingat betul, tanda sekali. Mata ku melotot seakan keluar dari rongganya.

"Pendekar 1/2 jalan" aku membathin.
Dikalangan dunia persilatan dia dikenal dengan banyak gelar, kemunculannya selalu tak terduga pembela kaum yang lemah, penegak keadilan, sang penyair yang rendah hati,.
Pendekar kilat, Pendekar tanpa jejak, Datuk jubah hitam, Si pedang puntung, Malaikat maut pembawa petir, Hantu bayangan, Pendekar pedang halilintar dan masih banyak lagi. Namun aku hanya menyebut dengan satu julukan saja yaitu Pendekar 1/2 jalan. Sebab ketika pertama bertemu beliau mengatakan seperti itu. Dia adalah guru.
Lama aku mendekam berdiam diri di balik pohon menyaksikan pertarungan yang jika ku tebak tak lama lagi Raburi akan mencium tanah.
Tiba-tiba...
"Buummm !!! "
Lamunan ku buyar tatkala mendengar suara gemuruh yang dahsyat sekali, hingga aku harus mengerahkan ilmu menutup aliran pendengaran.



*


Raburi terperanjat tatkala kabut asap yang menyelimuti bekas hantaman dahsyat tadi mulai berangsur sirna, yang terlihat hanyalah tanah kosong tanpa ada sesosok tubuhpun. Apa yang terjadi pikirnya. Raburi menoleh kesana kemari mencari cari kemana sang sosok berjubah tersebut. Dengan tetap waspada matanya melirik ke segala penjuru membelah malam yang hening itu. 

"kemana bangsat itu ?" batinnya berkata

"Padahal, tak pernah ada seseorangpun yang lolos dari serangan maut itu" 
"Aku mulai ragu, yang ku hadapi ini manusia atau bukan?"
Disaat kebimbangan menyergap batinnya, tiba-tiba Raburi terpekik dan terjungkal sejauh tujuh belas langkah. Ada angin menderu yang menghantam tubuhnya, angin ini juga yang menghantam anak buah Raburi si Jalak dan kawanannya. Raburi kalang kabut membetulkan posisi kuda-kudanya. Walau ada setetes darah keluar di sela bibirnya, dia tak bergeming sedikitpun.


Bersambung...