Sabtu, 30 November 2013

Pertemuan tak bertepi. (Eps 2)

Masih di awal Fuyu, 1435, Muharram , hari 18. 
Dingin yang sudah tidak bersahabat. 
Namun hitam tidak sepekat malam larut.
Sunyi sepi mengiringi setiap langkahku.
Ketika angin utara menari meliuk-liuk di antara rapatnya pepohonan, aku melihat satu sosok yang belum bisa kupastikan siapa gerangan atau apakah gerangan. 
Harus ku akui, bahwa sekujur tubuh ini menggigil karena dingin lalu di perparah lagi dengan suara nyanyian merdu tetapi jika tak salah telinga ini mendengar bahwa nyanyian  tersebut campur aduk dengan tawa.

"Manusia atau hantu?" 
"Haruskah aku mendekat?" bathinku

Begitupun aku masih punya keberanian, segera aku mengendap-ngendap mendekati sosok tersebut tentunya dengan bekal belati di tangan.

Semakin dekat, aroma moringa oleifera semakin santer menusuk hidung,
Lalu...
Redupnya cahaya bulan membuktikan kaki itu menjejak tanah dan kini jelaslah sudah bahwa sosok tersebut adalah seorang manusia.
Kecurigaanku atau bisa di katakan ketakutanku kini tak beralasan.
Sekedipan mata tiba-tiba sosok tersebut sudah berada didepanku.


"Ilmu peringan tubuh yang luar biasa, tingkat tenaga dalam orang ini tentu tidak bisa dianggap enteng" bathinku

Malah aku tertegun menyaksikan bahwa yang berdiri dihadapanku adalah seorang perempuan berbaju terusan hijau dan kerudung hijau.
Jika seandainya saat itu kabut turun, tentu aku tak dapat mengagumi kecantikan dara ini.
Ya, jika ada sepuluh orang lelaki, sembilan orang tentu sependapat denganku, satu orang abstain.
Aku mengenalkan diri, senyum manis menyapa ku. Ya, aku memanggilnya dengan sebutan Onec Si Mangga Hijau Manis. Sungguh aneh kedengarannya, sejauh pengembaraanku, aku menemukan julukan orang sakti seperti ini. Inilah anehnya dunia persilatan. Kami bercengkrama mengenai apa saja tentang dunia. Sebuah tema cerita membuatnya tertawa, dapat ku lihat barisan gigi yang putih dan rapi. Ku pandangi wajahnya dan terus ku pandang hingga setiap inchi dapat ku ingat.
Sempat berandai-andai tapi hanya sebuah khalayan.
Selang beberapa lama bercengkrama, waktu jua lah menjadi pemenang, sebab beliau meninggalkan pertemuan dengan sebuah kutipan..

"Jika engkau berpikir bisa,,,Engkau pasti bisa" ucapnya.


Lalu dengan mengendarai sebuah oritatamijitensha nya, dia terbang diantara rimbunan pepohonan.
Aku hanya bisa menyaksikan kepergiannya, seolah rasanya tak ingin berpisah namun begitulah skenario dunia.
Kan ku simpan sebagai kenangan, tanda di pipi kiri itu. 


Kembali ku berjalan, masih segar dalam ingatan ku apa yang pernah di ucapkan pendekar 1/2 jalan, yang sampai kini aku masih kesulitan untuk menterjemahkannya. Dan kini bertambah lagi. 


"entah kapan dan dimana aku bisa bertemu dia lagi" sembari tersenyum sendiri.

Ku rapatkan jubah tebalku sebab dingin ingin membunuhku, aku bergegas pergi meninggalkan tempat pertemuan yang tak bertepi ini...


Bersambung...


Senin, 18 November 2013

Pertemuan yang tak bertepi

Suatu malam, di awal fuyu, dingin yang masih bersahabat.
Waktu itu malam semakin larut, hingga setiap derap langkahpun akan terdengar walau di kejauhan.
"Pendekar 1/2 Jalan" Bisikku.
"Aku kenal jubah usang itu, aku tanda selendang hijau itu, aku ingat caping hitam itu"
"Firasat, pertanda apa gerangan"

Sosok berjubah hitam itu mendekatiku, lalu beliau berucap...
"Lihatlah dirimu.."
"Lihatlah dirimu dalam pikirannya, lalu bercerminlah"
"Apa yang kau lihat, anak muda"
Aku menggelengkan kepala.
"Tidak adakah?"
"Hmm,,," sembari mengusap janggutnya beliau melanjutkan...
"Satu hal yang pasti di dalam dunia ini adalah mati, itu tak bisa terbantahkan"
"...dan mati tidaklah mudah, kawan"

Kemudian beliau meninggalkanku dengan "Assalamu'alaikum", menghilang menembus pekatnya malam.

"Wa'alaikumsalam" jawabku.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala lagi.
Seolah itu hanya angin lalu, orang aneh.
Ya, memang mati itu adalah satu hal yang pasti.
tapi yang tidak ku pahami, "mati tidaklah mudah".
mati ya mati, mati ya tidak bernyawa, tidak bergerak, tidak hidup, 
"Lihatlah dirimu dalam pikirannya, lalu bercerminlah", Apa maksudnya, pikiran siapa, melihat apa ? bisikku dalam hati.

Sungguh tak mudah untuk di cerna otakku. Pertemuan yang sesaat itu, lagi-lagi aku harus menguras energi untuk berpikir dalam mengungkap makna yang tersembunyi dibalik kata-kata yang beliau ucapkan.
Sembari berjalan, tak henti-hentinya mencari tahu, mengumpulkan kepingan yang tercerai berai.



Bersambung...