Sabtu, 07 Desember 2013

Pertemuan tak bertepi (eps.3)

Alkisah , 
Aku hanya seorang pengembara yang singgah di negeri matahari terbit, negeri nan elok seribu bunga. Pada pertengahan fuyu, disebuah dataran rumput yang terhampar luas sejauh mata memandang. Pagi yang dingin menyapa kulitku.

"Dari manakah asal angin ini ?"pikirku

Kurapatkan jubah hangatku, ku pakai topeng ninjaku, ku rapikan caping dikepalaku, sehingga angin tak lagi menyentuh setiap inchi tubuhku. Kini penampilanku sekilas tak ubah seperti sang pendekar 1/2 jalan, aku tertawa kecil. Waktu cepat berlalu, entah kapan dan dimana aku akan bertemu lagi dengan beliau. Ilalang yang sama tinggi rendahnya menambah keindahan tempat itu, bergoyang kesana kemari mengikuti irama hembusan angin. Aku melihat jauh diseberang sana ada seseorang. Di bawah pohon yang rindang, satu-satunya pohon yang berada diantara dataran rumput ini. Aku bergegas menghampirinya,

"Aroma daun jeruk ?"bathinku. 

Sembari berjalan, aku mencari menoleh kesana kemari namun tidak menemukan pohon jeruk tetapi aroma daun jeruk ini begitu kental terasa.

"Aneh" bisikku. 
Lalu aku berhenti.
"Aku tahu aroma itu berasal dari seorang dara ini"gumamku. 

Ya benar saja dugaanku, memang aroma daun jeruk berasal dari gadis ini. Seseorang yang ku lihat dari seberang tadi ternyata seorang gadis manis. Gadis mungil kecil mengenakan baju terusan warna hijau dengan sepatu boot putih high heels. Kelihatan lucu sekali. Dia lagi sedang asik bermain sendiri mengitari rumput. Kadang sesekali dia sembunyi direrumputan lalu melompat. Seperti bermain seek and hide, petak umpet namanya di daerahku. Asiknya dia bermain sehingga tak menyadari kedatanganku. Terakhir lompatan yang dilakukannya tepat berhadapan denganku, dia melotot ke arahku, mungkin terkejut atas kehadiranku.

"Hantu !" teriaknya.
"Bukan" jawabku.
"Apa kau pikir hantu menjejakkan kakinya ditanah ?".
Dia memandangku dari ujung rambut sampai ujung kaki. 
"Sebab dari penampilanmu, tak jauh beda dengan hantu, wajahmu yang tertutup membuatku takut"balasnya.
Aku tertawa, begitulah manusia jika kita melihat. 
"Siapa kau ?"teriaknya lagi. 
Tapi kali ini dibarengi dengan gerakan hendak menyerangku.
"Aku hanya seorang pengembara yang singgah di negeri matahari terbit, negeri nan elok seribu bunga, ketika pagi ini angin menyentuh kulitku, dingin sekali. Tahukah engkau darimana asal angin ?".
"Berasal dari sang maha pencipta"jawabnya.
"Dapatkah engkau memberitahu padaku siapa sang maha pencipta itu?"tanyaku lagi.
"Tidak ada yang tahu siapa menciptakan sang maha pencipta"jawabnya lagi.

Aku terdiam, lalu tertawa. Aku bertanya tentang angin mendapatkan jawaban begini rupa. Baiklah aku tidak akan meneruskan pertanyaan itu sebab sebenarnya kita sudah tahu sama tahu. Gerakan yang semula hendak menyerangku perlahan mulai mengendur. Berganti dengan senyum. Kupandangi senyum itu, ke genggam dan ku simpan.
Singkat cerita, dibawah pohon rindang itu, duduk diantara akar pohon yang besar, kami berdua terlibat dengan obrolan yang tak kunjung selesai dan itu yang membuat aku begitu dekat dengannya. Sebaliknya dia juga merasa nyaman bercengkrama denganku menurut pengakuannya. Tema cerita yang berubah-ubah diselingi dengan beberapa lelucon membuat suasana menjadi lebih santai dan gembira. 

Beranjak dari beberapa obrolan ku ketahui namanya adalah Arinka Si Rumput Hijau. Nama yang bagus namun mempunyai julukan yang aneh, sesuai dengan tempat ini. Padang rumput hijau yang luas dan indah. Begitulah anehnya dunia, bermacam ragam manusia. Mempunyai gelar dan julukan sedemikian rupa. 
Entah sudah berapa lama kami bercengkrama, ku lepaskan topeng ninjaku, ku singkapkan jubah tebalku, ku singkirkan caping dikepalaku, kini jelas angin tak lagi sedingin pertama kali aku menjejakkan kaki di daerah ini. Hingga suatu saat dia berdiri menatap ku dalam-dalam, 
Dia mengatakan bahwa "Hidup seperti bunga mawar yang penuh dengan duri"

Aku hanya bisa tertawa. 

"Begitulah hidup. Hidup penuh hambatan itu pasti, perjalanan masih panjang itu harapan, disisi lain kadang kita buta oleh ilusi dunia. Jika bersilat lidah ada melukai hati, mohon dimaaafkan, onegaishimasu" balasku

Selepas akhir kata-kataku, dia berlari kencang dan menghilang dirapatnya rerumputan tanpa meninggalkan sepatah katapun.

...dan akhirnya semua terjawab sudah bahwa dunia ini penuh keanehan, namun keanehan yang terindah adalah mengenalmu adik kecil.

"Sayounara" teriak ku dalam hati.
Aku hanya melihat luasnya dataran rumput. Bagitulah hidup, satu persatu sahabat datang dan pergi mungkin takkan pernah kembali.
Sampai kita bertemu kembali dalam pengembaraan berikutnya, entah kapan dan entah dimana
Lama aku melamun, hingga beranjak petang. Ku rapikan bekal, kesematkan caping dikapala, ku rapatkan kembali jubah hangatku, ku kenakan topeng ninjaku dan aku mulai bangkit serta melangkah meninggalkan tempat pertemuan yang tak bertepi ini...


Bersambung...



Sabtu, 30 November 2013

Pertemuan tak bertepi. (Eps 2)

Masih di awal Fuyu, 1435, Muharram , hari 18. 
Dingin yang sudah tidak bersahabat. 
Namun hitam tidak sepekat malam larut.
Sunyi sepi mengiringi setiap langkahku.
Ketika angin utara menari meliuk-liuk di antara rapatnya pepohonan, aku melihat satu sosok yang belum bisa kupastikan siapa gerangan atau apakah gerangan. 
Harus ku akui, bahwa sekujur tubuh ini menggigil karena dingin lalu di perparah lagi dengan suara nyanyian merdu tetapi jika tak salah telinga ini mendengar bahwa nyanyian  tersebut campur aduk dengan tawa.

"Manusia atau hantu?" 
"Haruskah aku mendekat?" bathinku

Begitupun aku masih punya keberanian, segera aku mengendap-ngendap mendekati sosok tersebut tentunya dengan bekal belati di tangan.

Semakin dekat, aroma moringa oleifera semakin santer menusuk hidung,
Lalu...
Redupnya cahaya bulan membuktikan kaki itu menjejak tanah dan kini jelaslah sudah bahwa sosok tersebut adalah seorang manusia.
Kecurigaanku atau bisa di katakan ketakutanku kini tak beralasan.
Sekedipan mata tiba-tiba sosok tersebut sudah berada didepanku.


"Ilmu peringan tubuh yang luar biasa, tingkat tenaga dalam orang ini tentu tidak bisa dianggap enteng" bathinku

Malah aku tertegun menyaksikan bahwa yang berdiri dihadapanku adalah seorang perempuan berbaju terusan hijau dan kerudung hijau.
Jika seandainya saat itu kabut turun, tentu aku tak dapat mengagumi kecantikan dara ini.
Ya, jika ada sepuluh orang lelaki, sembilan orang tentu sependapat denganku, satu orang abstain.
Aku mengenalkan diri, senyum manis menyapa ku. Ya, aku memanggilnya dengan sebutan Onec Si Mangga Hijau Manis. Sungguh aneh kedengarannya, sejauh pengembaraanku, aku menemukan julukan orang sakti seperti ini. Inilah anehnya dunia persilatan. Kami bercengkrama mengenai apa saja tentang dunia. Sebuah tema cerita membuatnya tertawa, dapat ku lihat barisan gigi yang putih dan rapi. Ku pandangi wajahnya dan terus ku pandang hingga setiap inchi dapat ku ingat.
Sempat berandai-andai tapi hanya sebuah khalayan.
Selang beberapa lama bercengkrama, waktu jua lah menjadi pemenang, sebab beliau meninggalkan pertemuan dengan sebuah kutipan..

"Jika engkau berpikir bisa,,,Engkau pasti bisa" ucapnya.


Lalu dengan mengendarai sebuah oritatamijitensha nya, dia terbang diantara rimbunan pepohonan.
Aku hanya bisa menyaksikan kepergiannya, seolah rasanya tak ingin berpisah namun begitulah skenario dunia.
Kan ku simpan sebagai kenangan, tanda di pipi kiri itu. 


Kembali ku berjalan, masih segar dalam ingatan ku apa yang pernah di ucapkan pendekar 1/2 jalan, yang sampai kini aku masih kesulitan untuk menterjemahkannya. Dan kini bertambah lagi. 


"entah kapan dan dimana aku bisa bertemu dia lagi" sembari tersenyum sendiri.

Ku rapatkan jubah tebalku sebab dingin ingin membunuhku, aku bergegas pergi meninggalkan tempat pertemuan yang tak bertepi ini...


Bersambung...


Senin, 18 November 2013

Pertemuan yang tak bertepi

Suatu malam, di awal fuyu, dingin yang masih bersahabat.
Waktu itu malam semakin larut, hingga setiap derap langkahpun akan terdengar walau di kejauhan.
"Pendekar 1/2 Jalan" Bisikku.
"Aku kenal jubah usang itu, aku tanda selendang hijau itu, aku ingat caping hitam itu"
"Firasat, pertanda apa gerangan"

Sosok berjubah hitam itu mendekatiku, lalu beliau berucap...
"Lihatlah dirimu.."
"Lihatlah dirimu dalam pikirannya, lalu bercerminlah"
"Apa yang kau lihat, anak muda"
Aku menggelengkan kepala.
"Tidak adakah?"
"Hmm,,," sembari mengusap janggutnya beliau melanjutkan...
"Satu hal yang pasti di dalam dunia ini adalah mati, itu tak bisa terbantahkan"
"...dan mati tidaklah mudah, kawan"

Kemudian beliau meninggalkanku dengan "Assalamu'alaikum", menghilang menembus pekatnya malam.

"Wa'alaikumsalam" jawabku.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala lagi.
Seolah itu hanya angin lalu, orang aneh.
Ya, memang mati itu adalah satu hal yang pasti.
tapi yang tidak ku pahami, "mati tidaklah mudah".
mati ya mati, mati ya tidak bernyawa, tidak bergerak, tidak hidup, 
"Lihatlah dirimu dalam pikirannya, lalu bercerminlah", Apa maksudnya, pikiran siapa, melihat apa ? bisikku dalam hati.

Sungguh tak mudah untuk di cerna otakku. Pertemuan yang sesaat itu, lagi-lagi aku harus menguras energi untuk berpikir dalam mengungkap makna yang tersembunyi dibalik kata-kata yang beliau ucapkan.
Sembari berjalan, tak henti-hentinya mencari tahu, mengumpulkan kepingan yang tercerai berai.



Bersambung...